Minggu, 08 Juli 2007

Cegah Bencana: Terapkan Syariah!

QS Saba [34]: 15-16
Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.


لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آَيَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ (15) فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِنْ سِدْرٍ قَلِيلٍ (16) ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِمَا كَفَرُوا وَهَلْ نُجَازِي إِلَّا الْكَفُورَ (17)
Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir. (TQS Saba [34]: 15-17).

Tak henti dihempas bencana. Itulah realita mutakhir Indonesia. Di antara bencana itu ada yang memang murni disebabkan fenomena alam yang telah menjadi sunnatullah. Manusia tak mampu mencegah terjadinya bencana ini. Yang bisa dilakukan adalah meminimalisasi korban dan kerusakan; menyegerakan pertolongan terhadap korban; melakukan pemulihan kerusakan, dan semacamnya. Namun sebagian besar bencana di Indonesia disebabkan oleh perilaku buruk dan maksiat manusia. Banjir besar yang melanda di Jakarta dan berbagai daerah lainnya, musibah tanah longsor, kebakaran hutan, dan semacamnya termasuk dalam bencana kedua.

Melihat Indonesia saat ini, mengingatkan kita terhadap bencana yang pernah menimpa kaum Saba’ sebagaimana dikisahkan QS Saba’: 15-17. Kisah tersebut harus dijadikan pelajaran bagi seluruh manusia di dunia, termasuk bangsa Indonesia.

Wajib mensyukuri Nikmat

Dalam ayat itu Allah Swt berfirman: Laqad kâna li Saba’ fî maskanihim âyah (sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda [kekuasaan Tuhan] di tempat kediaman mereka). Menurut al-Syaukani, Saba’ adalah nama sebuah kabilah keturunan Saba’ bin Yasyjab bin Ya’rab bin Qahthan bin Hud. Mereka tinggal di daerah Yaman yang sekarang dikenal dengan Ma’rib. Tak aneh jika menurut sebagian mufassir, Saba’ adalah nama tempat tersebut.

Ayat ini memberitakan, di tempat tinggal mereka itu terdapat âyah. Menurut al-Qurthubi, kata âyah berarti ‘alâmah (tanda) yang menunjukkan kekuasaan Allah, bahwa ada al-Khaliq yang menciptakan mereka. Kendati berbeda redaksionalnya, penjelasan para mufassir lain tak jauh berbeda. Wujud tanda kekuasaan Allah Swt itu disebutkan dalan frasa berikutnya: jannatâni ‘an yamîn wa syimâl (dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri).

Kata jannah dalam ayat ini bermakna bustân (kebun). Menurut al-Zamakhsyari, kata jannatâni bukan berarti hanya ada dua kebun. Di negeri itu terdapat banyak kebun. Hanya saja, ada sejumlah kebun yang berada di sebelah kanan wadi; dan ada pula yang berada di sebelah kiri.
Bagi manusia yang mau menggunakan akalnya, kebun-kebun itu menjadi âyah atau bukti yang jelas akan kekuasan Allah Swt. Seandainya seluruh makhluk bersatu untuk membuat sebatang pohon, mengeluarkan buah darinya, menciptakannya menjadi beraneka jenis, warna, rasa, dan baunya, niscaya mereka tidak akan mampu. Itu semua menunjukkan secara pasti, kebun-kebun itu diciptakan Allah Swt.

Bagi kaum Saba’, kebun-kebun itu bukan sekadar menjadi tanda bagi keberadaan, kekuasaan, dan kemurahan Allah Swt, namun sekaligus juga merupakan anugerah buat mereka. Aneka buah dan pepohonan yang tumbuh di kebun-kebun itu dapat mereka nikmati. Melalui para utusan-Nya, Allah Swt berfirman kepada mereka: Kulû min rizqi Rabbikum wa [i]sykurû lahu (makanlah olehmu dari rezeki dari Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya).

Mereka dipersilakan untuk mengkonsumsi berbagai jenis buah dan makanan di kebun-kebun mereka itu. Mereka juga diingatkan, aneka makanan itu sesungguhnya min rizqi Rabbikum, adalah rezeki dari Tuhan-Mu. Bukan hanya yang ada di kebun, semua benda di muka bumi ini pun adalah ciptaan-Nya. Dialah yang menciptakan bumi ini untuk manusia (QS al-Baqarah [2]: 29). Oleh karena itu, sudah selayaknya mereka bersyukur kepada Allah Swt, Dzat Pemberi rezeki (al-Razzâq).

Menurut al-Asfahani, al-syukr berarti membayangkan dan menampakkan kenikmatan. Kebalikannya adalah al-kufr, yakni melupakan dan menutupi kenikmatan. Sedangkan Dzun Nun al-Mashri Abu Faidh menuturkan, syukur kepada pihak yang kebih atas dengan ketaatan; syukur kepada setara dengan menghargainya, dan syukur kepada pihak yang lebih rendah dengan berbuat baik dan memuliakannya. Dengan demikian bentuk syukur kepada Allah Swt adalah dengan beribadah dan taat kepada-Nya.

Perintah bersyukur itu dikukuhkan dengan peringatan akan nikmat lainnya: Baldat[un] thayyibat[un] wa Rabb[un] Ghafûr ([negerimu] adalah negeri yang baik dan [Tuhanmu] adalah Tuhan Yang Maha Pengampun). Banyak penjelasan para mufassir mengapa negeri kaum Saba’ dinyatakan baldah thayyibah. Menurut Ibnu Abbas, karena tanah yang dihuni kaum Saba’ itu paling gembur dan paling baik. Al-Qurthubi berpendapat, karena banyak buahnya. Ada pula yang menyatakan, karena di negeri itu tidak ada nyamuk, lalat, kutu, kalajengking, dan ular. Pendek kata, negeri kaum Saba’ itu memang amat bagus dihuni manusia. Realitas ini tentulah merupakan sebuah kenikmatan yang wajib disyukuri.

Kenikmatan lainnya yang wajib disyukuri adalah sifat Allah Swt yang Ghafûr (Yang Maha Pengampun). Sebagai makhluk yang lemah, manusia tak bisa lepas dari kesalahan dan kekhilafan. Dalam keadaan demikian, ampunan menjadi kebutuhan setiap manusia. Maka, Allah Swt yang Maha Pengampun merupakan nikmat tiada tara. Namun juga harus dicatat, ampunan Allah Swt itu diberikan kepada orang-orang beriman kepada-Nya dan memohon ampunan-Nya. Walhasil, kenikmatan Allah Swt terhadap kaum Saba’ amat besar.

Akibat Berpaling dari Syariah

Bukti dan tanda kekuasaan Allah Swt yang amat jelas itu seharusnya membuat kaum Saba’ tak ragu mengimani keberadaan dan kemurahan Allah Swt. Demikian pula berbagai kenikmatan yang dianugerahkan Allah Swt, semestinya membuat mereka mudah bersyukur kepada-Nya. Namun yang terjadi justru sebaliknya: fa a’radhû (mereka justru berpaling). Mereka menolak untuk beriman, beribadah, dan bersyukur kepada-Nya. Mereka ingkar kepada Allah Swt, tidak mau mengikuti petunjuk-Nya, dan tidak taat terhadap perintah dan larangan-Nya

Karena membangkang dari perintah-Nya dan berpaling dari syariah-Nya, Allah Swt pun mendatangkan bencana terhadap mereka: fa arsalnâ ‘alayhim sayl al-‘arim (maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar). Banjir itu pun mengakibatkan bencana lanjutan. Allah Swt berfirman: wa baddalnâhum bijannatayhim jannatayn dzawatay ukul[in] khamth[in] wa atsl[in] wa syay’[in] min shidr[in] qalîl[in] (Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi [pohon-pohon] yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr).

Artinya, setelah banjir besar melanda negeri mereka, negeri mereka pun berubah. Tak lagi tergolong baldah thayyibah. Sebab, kebun-kebun mereka tak lagi dipenuhi dengan aneka tumbuhan yang bermanfaat bagi mereka. Kebun-kebun mereka hanya ditumbuhi pepohonan yang tidak dapat mereka konsumsi. Pohon atsl adalah sejenis pohon cemara. Pohon sidr adalah sejenis pohon bidara

Itu semua disebabkan karena kekufuran mereka. Dalam ayat berikutnya Allah Swt berfirman:
ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِمَا كَفَرُوا وَهَلْ نُجَازِي إِلَّا الْكَفُورَ
Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir (QS al-A'raf [7]: 96)

Seandainya mereka mau bersyukur kepada-Nya, niscaya kejadian itu tidak akan menimpa mereka. Sebaliknya, mereka justru mendapat tambahan nikmat karenanya. Allah Swt berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (TQS Ibrahim [14]: 7).

Perlu Perubahan Mendasar

Meskipun tidak sama persis, ada beberapa titik persamaan antara negeri Saba dengan negeri Indonesia. Sebagaimana negeri kaum Saba’, negeri Indonesia juga tergolong baldah thayyibah. Tanahnya subur-gembur ditumbuhi aneka tanaman yang bermanfaat. Lautnya luas, di daratannya banyak sungai mengalir. Hutannya juga amat luas. Di dalam perutnya tersimpan berbagai tambang berharga. Pendek kata, kekayaan alamnya melimpah.

Namun, sebagaimana kaum negeri Saba’, kenikmatan besar itu masih belum menggerakkan penghuninya untuk bersyukur kepada Allah Swt. Secara idividual memang banyak orang mengaku beriman dan melaksanakan syariah-Nya. Namun secara komunal, ideologi sekular yang dijadikan sebagai dasar bermasyarakat dan bernegara adalah, bukan aqidah Islam. Hukum yang berlaku juga hukum sekular, bukan hukum Allah Swt atau syariah. Lebih mengerikan, syariah yang membawa rahmat bagi alam semesta itu acapkali dicurigai, ditakuti, dan dilecehkan; pejuangnya pun dijuluki ekstrimis atau teroris..

Maka, wajar jika aneka bencana, musibah, dan krisis terus datang. Bahkan, tidak jarang bencana yang datang itu muasalnya adalah nikmat. Hujan adalah rahmat bagi kehidupan, namun kedatangannya justru menimbulkan bencana memilukan: banjir dan tanah longsor. Hutan yang merupakan kenikmatan besar, menhasilkan asap dan kabut yang amat mengganggu berbagai wilayah. Tambang gas alam di Sidoarjo, ketika digali yang keluar justru lumpur panas.

Walhasil, jika tak ingin bencana, musibah, krisis terus datang melanda, perubahan mendasar dan total di negeri ini harus dilakukan. Ideologi dan hukum sekular yang berlaku harus dicampakkan. Sebagai gantinya, aqidah dan syariah yang diberlakukan secara total. Hanya dengan jalan itu kehidupan penuh berkah dapat diraih. Allah Swt berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (QS al-A’raf [7]: 96).
WaLlâh a’lam bi al-shawâb.