Minggu, 08 Juli 2007

Penguasa, Berhati-hatilah

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآَثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ

Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas (al-lawh al-mahfûzh) (QS Yasin [36]: 12).

Ketika kekuasaan dijadikan sebagai orientasi utama dalam hidup, maka berbagai cara pun ditempuh untuk meraihnya. Tak peduli harus menipu, menjilat, memeras, atau bahkan membunuh. Padahal kekuasaan tidak selalu mengantarkan pemegangnya meraih kebahagaian. Betapa banyak penguasa yang nasibnya berakhir tragis. Hartanya disita, kehormatannya hancur, atau hidupnya menderita. Kematiannyapun tidak diiringi tangis kesedihan rakyatnya, namun justru disambut gembira.

Kekuasaan memang ibarat pisau bermata dua. Apabila dijalankan sesuai tuntunan syariah, pemegangnya akan mendapatkan kebahagian. Pemimpin yang adil termasuk di antara tujuh golongan yang mendapatkan naungan Allah ketika tidak ada naungan selainnya (Hadits Muttafaq ‘alayh). Demikian pula jika kekuasaan itu meninggalkan pengaruh kebaikan bagi masyarakat dan generasi berikutnya, pahala yang didapatkan pemegangnya kian berlipat.
Sebaliknya, jika kekuasaan itu hanya digunakan untuk mengejar kesenangan materi, menumpuk harta, dan memuaskan hawa nafsu belaka, maka kecelakaanlah yang didapat. Kekuasaan seperti itu pasti menimbulkan berbagai kerusakan, dengan skala yang luas dan rentang waktu lam. Dosa yang harus ditanggungnya pun bertambah. Ia tidak hanya disiksa karena perbuatan yang dikerjakan, namun juga berbagai pengaruh buruk yang diakibatkan oleh tindakan dan kebijakannya.

Manusia memang tidak hanya dihisab dengan perbuatan yang dikerjakan, namun juga dengan pengaruh yang ditinggalkannya. Ketentuan itu terdapat dalam beberapa ayat dan Hadits. Di antaranya adalah firman Allah Swt dalam QS Yasin [36]: 12

Dicatat Seluruh Amalnya
Dalam ayat tersebut Allah Swt berfirman: Innâ Nahnu Nuhyî al-mawtâ (sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati). Kata Nahnu dalam frasa tersebut memberikan makna li al-hasyr aw li al-taqwiyah (pembatasan atau pengukuhan). Demikian kata al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma’ânî. Artinya, hanya Allah Dzat yang menghidupkan manusia ketika telah mati, bukan yang lain. Bisa pula bermakna, manusia yang sudah mati, benar-benar akan dihidupkan kembali oleh Allah Swt.

Banyak kalangan mufassir yang menasfirkan, pengertian Nuhyî al-mawtâ (menghidupkan orang-orang mati) adalah membangkitkan seluruh manusia yang sudah mati di hari kiamat kelak. Banyak sekali ayat dan Hadits yang menegaskan kepastian terjadinya peristiwa ini. Di antaranya adalah al-Taghabun [64]: 7, al-Nahl [16]: 38, al-Mukminun [23]: 16, dan lain-lain.
Berkaitan dengan fase-fase perjalanan hidup manusia itu, Allah Swt berfirman:
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونِ
َMengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan? (TQS al-Baqarah [2]: 28).

Manusia dibangkitkan dari kuburnya untuk mempertanggungkan seluruh perbuatannya semasa di dunia. Siapa yang beriman dan beramal shalih, disediakan baginya surga yang penuh kenikmatan. Sebaliknya, siapa yang kufur dan tidak menggunakan hidupnya untuk beribadah kepada-Nya, dimasukkan ke dalam neraka. Karena nasib manusia ditentukan oleh amal perbuatannya, maka seluruh amal perbuatannya pun dicatat-Nya. Allah Swt berfirman: wa Naktubu mâ qaddamû (Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan).

Kata mâ qaddamû dalam ayat ini berarti semua perbuatan yang telah mereka kerjakan, baik yang terpuji maupun yang tercela, yang shalih maupun yang durhaka. Demikian penjelasan para mufassir, seperti al-Thabari, Ibnu Katsir, al-Baidhawi, al-Baghawi, dan al-Khazin dalam kitab-kitab tafsir mereka. Dalam beberapa ayat, seperti QS al-Infithar [82]: 5, al-Qiyamah [75]: 13, dan al-Hasyr [59]: 18, kata mâ qaddamû juga bermakna amal perbuatan yang telah dikerjakan.
Semua amal perbuatan manusia itu dicatat dengan sangat teliti hingga tak ada yang terlewat. Di hari kiamat, pelakunya akan melihat semua perbuatan yang telah dikerjakan meski perbuatan itu hanya seberat dzarrah (lihat QS al-Zalzalah [99]: 7-8). Allah Swt juga berfirman:
أَمْ يَحْسَبُونَ أَنَّا لَا نَسْمَعُ سِرَّهُمْ وَنَجْوَاهُمْ بَلَى وَرُسُلُنَا لَدَيْهِمْ يَكْتُبُونَ

Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka (TQS al-Zukhruf [43]: 80).

Dengan demikian tidak ada satu pun manusia yang terdzalimi. Mereka mendapatkan balasan sesuai dengan amal perbuatan mereka. Oleh karena itu, jika mereka menerima siksa yang pedih, sama sekali bukan karena Allah Swt mendzalimi hamba-Nya. Maha suci dari perbuatan tersebut (lihat QS Ali Imron [3]: 182, al-Anfal [8]: 51). Namun justru manusialah yang mendzalimi diri mereka sendiri.

Dicatat pula Âtsâr-nya
Ayat juga memberi peringatan, bukan hanya amal perbuatannya yang dicatat, namun juga seluruh âtsâr (pengaruh, dampak, atau peninggalan) mereka. Allah Swt berfirman: wa âtsârahum (dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan).
Menurut sebagian mufassir, kata âtsâr bermakna bekas jejak dan langkah kaki, baik yang berjalan untuk ketaatan maupun kemaksiatan. Al-Thabari dalam tafsirnya, Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân, meriwayatkan beberapa Hadits yang menunjukkan makna tersebut. Di antaranya adalah Hadits yang diriwayatkan Ibnu al-Mutsanna dari Jabir ra. Bahwa Bani Salimah ingin berpindah rumah dekat dengan masjid. Rasulullah saw bersabda kepada kepadanya:
يَا بَنِي سَلِمَةَ دِيَارَكُمْ إنَّها تُكْتَبْ آثَارُكُمْ
Wahai Bani Bani Salimah, tetaplah di rumahmu. Sesungguhnya bekas jejak kakimu ditulis (HR al-Thabari).
Mufassir lain, seperti al-Syaukani dan al-Alusi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan âtsâr adalah semua kebaikan atau keburukan yang tetap ada setelah ditinggal mati pelakunya. Penafsiran tak jauh berbeda juga dikemukakan al-Samarqandi, al-Khazin, dan al-Baghawi. Mereka menyatakan, âtsârahum adalah semua kebiasaan yang diciptakan, baik yang hasanah (terpuji) maupun yang syay’ah (tercela), kemudian dicontoh orang-orang yang sesudahnya. Penafsiran ini didasarkan pada Hadits Nabi saw:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Barangsiapa yang membuat tradisi dalam Islam sebuah tradisi yang baik (sunnah hasanah), maka dia memperoleh pahala dari perbuatan yang dia kerjakan dan perbuatan orang yang menirunya tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun. Dan barang siapa yang membuat tradisi dalam Islam sebuah tradisi yang buruk (sunnah syay’ah), maka dia memperoleh dosa dari perbuatan yang dia kerjakan dan perbuatan orang-orang yang menirunya tanpa mengurangi dosanya sedikit pun (HR Muslim).

Dalam ayat lainnya, al-Quran menegaskan bahwa orang yang menyesatkan orang lain, maka dia juga harus menanggung dosa orang yang disesatkannya itu (lihat QS al-nahl [16]: 25). Orang-orang kafir yang manusia kepada kekufuran, maka dia harus menanggung dosa mereka dan dosa orang-orang yang mengikuti mereka (lihat QS al-Ankabut [29]: 13.

Al-Baidhawi menyodorkan beberapa contoh yang termasuk dalam cakupan âtsâr, yakni ilmu yang diajarkan, harta yang diwakafkan, tersebarnya kebatilan, dan tegaknya kedzaliman. Selain contoh itu, al-Alusi juga menyebutkan beberapa contoh lain. Contoh peninggalan yang baik adalah kitab yang ditulis dan bangunan di jalan Allah. Sementara peningalan yang buruk adalah penetapan undang-undang yang dzalim, penyusunan prinsip-pinsip keburukan dan kerusakan yang berlaku di antara manusia, dan semacamnya. Semua penjelasan para mufassir itu menunjukkan, manusia juga dihisab atas semua peninggalan, dampak, atau pengaruh dari perbuatan yang dikerjakannya.

Ayat ini ditutup dengan firman Allah Swt: Wa kullu syay’[i] ahshaynâhu fî imâm mubîn (dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas). Menurut al-Baghawi, kata ahshaynâhu berarti Kami memelihara, menghitung, dan menjelaskannnya. Sementara menurut kebanyanyakan mufassir --seperti Ibnu Katisr, al-Nasafi, al-Jazairi, al-Khazin, al-Baghawi, al-Baihawi, dan al-Syaukani-- makna imâm mubîn adalah al-lawh al-mahfûzh. Artinya, segala yang ada telah tercantum dalam kitab yang terjaga (al-lawh al-mahfûzh).

Penguasa, Berhati-hatilah

Di antara keistimewaan penguasa adalah pengaruh yang ditimbulkan akibat kebijakannya. Jika seorang rakyat hendak makan, lalu memilih nasi atau babi, maka perbuatan itu hanya berakibat pada dirinya. Berbeda halnya dengan penguasa. Ketika membuat kebijakan, maka dampaknya akan dirasakan seluruh rakyat di negaranya, bahkan di negara lain. Bisa jadi, dampaknya pun tidak hanya dirasakan saat itu, tapi bisa jadi hingga beberapa generasi.
Ketika penguasa membuat undang-undang yang melarang miras, pornografi, atau riba, berbagai perbuatan maksiat itu akan berkurang atau bahkan lenyap dari kehidupan umum. Sebaliknya, jika aneka perbuatan maksiat diizinkan, dipastikan akan marak di dalam kehidupan masyarakat. Ketika itu terjadi, maka dia tidak hanya berdosa atas perbuatan yang dilakukannya, namun karena kegiatan maksiat yang dilakukan oleh orang lain.

Berpijak ayat tersebut, seorang Muslim hanya akan berselera menjadi pemimpin dalam sistem yang menerapkan syariah. Ketika sistemnya bukan syariah, maka di hatinya sama sekali terbetik keinginan untuk menjadi penguasa, kecuali ia mampu mengubahnya menjadi syariah. Sebab, bagaikan kereta, sistem kufur adalah lokomotif yang membawa berbagai gerbong kemaksiatan dan kemungkaran. Gerbong-gerbong yang mengantarkan masinis dan penumpangnya kepada neraka yang penuh siksa. Masih ada yang tertarik?. WaLlâh a’lam bi al-shawâb.