Minggu, 08 Juli 2007

ZAKAT HARTA PERDAGANGAN

Saya seorang pedagang. Alhamdulillah, dari hari ke hari, bisnis saya semakin maju dan berkembang. Dalam waktu dekat ini saya ingin membayar zakat untuk harta dagangan saya. Hanya saja, masih banyak hal yang belum jelas tentang seluk-beluk zakat perdagangan. Semisal: Berapa nisabnya, berapa persen harus dibayarkan, kapan harus membayarnya, dan bagaimana cara menghitungnya? Bolehkah yang dibayarkan itu barang dagangannya? Supaya lebih mantap, mohon Ustadz sertakan dalil yang melandasinya. Atas jawabannya, saya ucapkan terima kasih.
Joko Santoso, Surabaya
Jawaban:
Yang dimaksud dengan harta perdagangan adalah semua harta selain uang yang digunakan untuk menjalankan perdagangan, baik dengan pembelian maupun penjualan, yang bertujuan memperoleh keuntungan. Dengan demikian, harta perdagangan bisa berupa makanan, pakaian, hewan, barang-barang tambang, tanah, bangunan, barang-barang industri, dan lain-lain yang bisa diperjualbelikan dapat dikatagorikan dalam harta perdagangan.
Para ulama salaf maupun khalaf menyepakati wajibnya mengeluarkan zakat pada harta yang digunakan untuk perdagangan. Di antara dalil yang digunakan adalah hadits yang diriwayatkan dari Samurah bin Jundub. Ia berkata:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنْ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ
Adapun setelah itu, Rasulullah saw memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari semua yang kami persiapkan untuk jual beli (HR Abu Dawud).
Al-Syafi’i, Ahamad, Abu Ubaid, al-daruquthni, al-Bayhaqi, Abd al-Razzaq, dari Abu Amru bin Hammas dari bapaknya yang berkata: Aku berjualan kulit dan tempat anak panah, kemudian Umar bin al-Khaththab melewati aku, maka Umar ra berkata, “Tunaikanlah shadaqah (zakat) hartamu.” Aku menjawab, “Wahai Amirul Mukmin, sesungguhnya ini hanya kulit.” Beliau berkata, “Nilailah harganya, kemudian keluarkanlah shadaqahnya!” Dalam kitab al-Mughni disebutkan bahwa kisah ini masyhur dan tidak ada seorang pun yang mengingkari sehingga dapat dikatagorikan sebagai ijma’ (Sayyid al-Sabiq, Fiqh al-Sunnah I/293-294)
Wajibnya zakat harta perdagangan juga diriwayatkan Umar dari anaknya, dari Ibnu Abbas, dari Hasan, dari Jabir, dari Thawus, dari al-Nakha’iy, dari al-Tsauri, al-Auza’iy, sari al-Syafi’iy, dari Ahmad, dari Abu Ubaid, dari Abu Hanifah, dan lain-lain.
Harta perdagangan itu wajib dibayarkan apabila telah mencapai nishab dan telah berlangsung selama satu tahun (haul). Ada pun jumlah nishabnya, senilai dengan nishab emas atau perak. Nishab emas sebesar 20 dinar atau 85 gram (1 dinar = 4,25 gram), sedangkan perak 200 dirham atau 595 gram (1 dirham = 2,975 gram). Sebagaimana juga zakat emas dan perak, besar harta yang dizakatkan adalah 2,5 persen dari jumlah harta yang diperdagangkan.
Sedangkan untuk menghitungnya, harus dperhatikan modal awal dan harta perdagterakhir setelah berlangsung satu tahun. Apabila modal awalnya ketika dia memulai perdagangan belum mencapai nishab, dan setelah berlangsung satu tahun hartanya bertambah hingga mencapai nishab, maka belum ada kewajiban baginya untuk membayar zakat. Sebab, meskipun jumlah hartanya telah mencapai nishab, namun kepemilikan itu masih belum genap satu tahun (belum haul). Kewajiban membayar zakat baru dikenakan pada tahun berikutnya jika harta yang ada masih mencapai nishab.
Jika di awal perdagangannya hartanya telah mencapai nishab, katakanlah Rp 15 juta, setelah genap satu tahun ia memperoleh keuntungan Rp juta sehingga hartanya menjadi Rp 25 juta, maka yang dibayarkan zakatnya adalah 2,5 persen dari harta akhir yang dimiliki tersebut (Rp 25 juta), bukan harta awal (Rp 15 juta). Sehingga yang dikeluarkan zakatnya sebesar Rp 25.000.000 x 2,5% = Rp 625.000. Hal ini karena perkembangan hartanya itu mengikuti modalnya dan haul atas keuntungannya telah tercapai mengikuti haul atas modalnya. Menurut Abd al-Qadim Zallum dalam kitabnya al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, ketetapan ini seperti kambing yang melahirkan anak-anaknya. Jadi dihitung bersama-sama dan dikeluarkan zakatnya, karena haul anaknya mengikuti haul induknya.
Mengenai harta yang dibayarkan, boleh dalam bentuk mata uang yang berlaku. Diperbolehkan pula dalam bentuk barang atau komoditas yang diperdagangkannya. Kalau yang diperdagangkan kain, buku, komputer, atau mobil, maka diperbolehkan membayarkan zakatnya dengan harta yang diperdagangkan itu.
Demikian jawaban yang dapat kami berikan, semoga jelas dan dapat dipahami. Wallah a’lam bi al-shawab.